T E M A N B A I K

Download PDF

 

Periode I

Oleh : spl.

Semua orang tentu mempunyai teman baik, namun jika ditanya mengapa ia dikatakan teman baik; maka jawabannya sangat tergantung pada orang yang ditanya; dan hampir pasti umumnya tidak ada sesuatu yang dapat dianggap berlaku universal. Jika pertanyaan diteruskan dengan apakah dulu mempunyai teman baik dan apakah sekarang masih selalu berhubungan, mungkin jawabannya lebih bervariasi lagi. Kiranya hal itu menunjukkan bahwa tidak mudah mendefinisikan arti teman baik. Bagi saya daripada pusing pusing mencari definisi yang tepat dan benar; saya pilih yang mudah dan sederhana saja. Semua orang yang pernah berteman atau berkenalan dengan kita dan jika sekarang saya mengenang atau mengingat mereka, masih selalu memberikan kenangan yang manis dan menyenangkan, maka kita dapat kategorikan mereka sebagai “teman baik”.

Dengan definisi yang sangat sederhana tersebut, mendadak saya merasa dalam perjalanan hidup saya yang yang cukup panjang; saya termasuk orang yang “kaya” teman baik. Dengan kekayaan ini, rasanya kita patut bersyukur pada yang Maha Esa yang mendatangkan mereka dalam perjalanan hidup kita. Oleh karena mengenang mereka selalu mendatangkan perasaan yang menggembirakan dan kadang kadang masih mendatangkan syahdu kerinduan untuk bertemu, maka saya coba gali dari ingatan saya, siapa siapa yang termasuk teman baik saya. Tentu diantara mereka sudah ada sebagian yang telah meninggal dan sebagian besar juga sudah tidak pernah berhubungan lagi dan saya tidak tahu dimana mereka berada ; namun semuanya masih dapat dianggap sebagai teman baik saya.

Saya akan mulai dengan mereka yang berteman pada periode waktu saya masih baru masuk sekolah. Oleh karena saya dilahirkan pada tahun 1933, maka periode tersebut mencakup periode sebelum Jepang masuk ke Indonesia sampai zaman kemerdekan Indonesia. Saya tinggal dikota kecil dilereng selatan gunung Slamet sampai umur kira kira 16 tahun; sesudah itu hidup saya selalu sekolah atau bekerja diluar kota kecil saya. Rumah saya berupa warung yang menjual berbagai keperluan rokok merokok, keperluan bumbu dapur, polowidjo dan berbagai macam barang pokok makanan yang dapat dan laku dijual serta tidak cepat membusuk. Rumah saya berdiri dipinggir jalan besar yang merupakan urat nadi kegiatan ekonomi dan jalur utama menuju kota kota lainya. Tetangga sebelah kiri atau sebelah barat rumah saya adalah toko/tukang mebel, toko/tukang foto, tukang gigi dan selanjutnya berupa toko toko kelontong, toko kain dan toko batik berselang seling ; baik yang berskala warung maupun yang berskala toko. Sebelah timur rumah saya adalah toko/tukang emas, produsen batik, rumah tinggal biasa toko roti dan selanjutnya ada beberapa warung nasi dan warung makanan kecil sampai alun2 yang merupakan pusat kota. Alun alun dibelah dua oleh jalan besar, namun seperempat luas alun alun masih cukup untuk main bola sepak versi kampungan. Alun alun dikeilingi mesjid utama, kabupaten dan kediaman bupati, kantor pos, penjara, sekolah negeri dan beberapa rumah dinas pejabat lain. Diantara rumah rumah tersebut diatas, ada juga diselingi rumah gedung yang hanya merupakan rumah tinggal yang umumnya cukup luas pekarangannya, karena umumnya merupakan rumah orang Tionghoa yang tergolong kaya.

Teman main saya waktu kecil terutama adalah mereka yang menjadi tetangga dekat saya; terutama dua saudara (Honggun dan Hongyu) yang tinggal dikiri rumah saya. Mungkin karena asalnya tanah tersebut merupakan satu pekarangan yang dibagi dua, bagian belakang rumah kami hanya dipisahkan dengan pagar bambu dengan pintunya yang hampir selalu terbuka; oleh karena itu anak anak dapat keluar masuk antara kedua rumah bertetangga tanpa diperdulikan penghuni lain. Sebenarnya tetangga saya banyak anaknya selain kedua anak lelaki yang telah disebut dimuka; namun kala itu anak laki praktis tidak pernah bicara dengan anak perempuan dan lagi biasanya anak perempuan serta anak lelaki yang perbedaan umurnya cukup banyak, tidak termasuk hitungan dalam pergaulan anak lelaki sebaya. Hongyu dan saya umurnya sebaya dan tinggi badannya praktis sama dan terbilang agak kecil untuk ukuran umur kami. Secara fisik, Hongyu lebih kuat dari saya, sehingga meskipun sudah berusaha keras, saya selalu kalah bersaing dalam permainan/pekerjaan yang bersifat fisik. Kami berdua hampir sukar dibedakan termasuk anak keluarga mana; karena kegiatan dan pekerjaan rumah mana dan apa saja, praktis dikerjakan bersama. Hongyu dan Honggun sifatnya sangat berlainan. Seperti kebanyakan anak lainnya , Hongyu tidak tertarik pada bacaan atau kegiatan yang memerlukan banyak pemakaian otak – sifat ini terlihat agak ekstrim pada Hongyu; sebaliknya Honggun justru kutu buku dan bacaaan apa saja dilalap habis sehingga tidak terlalu minat mengikuti permainan anak anak. Waktu umur masih kecil, praktis saya tidak bergaul dengan Honggun, tetapi menanjak besar dan bisa membaca, saya lebih bergaul dengan Honggun daripada Hongyu; karena saya sendiri juga sangat suka membaca tulisan apa saja. Selain buku cerita silat, segala novel orang dewasa pada majalah majalah ataupun perdebatan mengenai sesuatu masalah social politik, selalu saya baca. Tentu saja pengertian dari bacaan yang saya baca masih terbatas sekali.

Dijaman Belanda, saya sudah masuk sekolah sampai mencapai kelas 3 SD. Sekolah saya di HCZS, sebuah sekolah zending (swasta ?) Kristen, tetapi factor keagamaan sepertinya tidak diajarkan. HCZS adalah kependekan dari Holandse Chinese Zending School, akan tetapi ternyata murid2-nya bukan hanya dari etnis Tionghoa. Akan tetapi campuran segala etnis. Karena tiap hari jalan kaki kesekolah dan banyak anak tetangga yang masuk HCZS, teman2 saya agak berbeda dengan teman main sebelumnya. Honggun sekolah di HIS dan mungkin Hongyu juga. Yang menjadi teman baik saya adalah Abdul, seorang anak keturunan Arab yang rumahnya persis dimuka rumah saya. Untuk umurnya, ia termasuk tinggi besar, jadi saya hanya kira kira sepundaknya saja. Waktu kecil, saya amat pemalu dan penakut, jadi berjalan bergandengan dengan Abdul (sayang tidak ada fotonya, mungkin suatu pemandangan yang lucu) serasa “protected”, karena ia tidak pernah diggoda-goda anak lain dan mungkin anak lain juga tidak berani menggoda dia karena besar badannya. Ia orangnya baik dan tidak pernah menggoda anak yang lebih lemah. Pergaulan dengan Abdul mungkin sangat singkat, karena waktu Jepang datang, mereka sekeluarga pindah rumah, meskipun masih dalam 1 kota. Akan tetapi pergaulan anak anak kedua keluarga sepertinya cukup rapat juga, karena adik perempuannya (Latifa) teman adik perempuan saya yang umur dan kelasnya sama. Adik lelaki bungsunya (Feisol) adalah teman main adik lelaki bungsu saya. Setelah dewasa, saya hanya pernah ketemu Abdul sekali, waktu itu mereka sudah pindah ke Jakarta. Waktu sekolah di HCZS, ada teman yang masih memberikan kesan mendalam pada saya.; mereka adalah bersaudara Suwarno dan Suyitno, anak bupati kota kami waktu itu. Tentu sebagai anak kecil, pertemanan itu tidak pernah terkait dengan apakah ia anak orang kaya atau anak pejabat; saya mungkin lebih memilih teman yang termasuk alim dan tidak nakal. Mereka sepertinya sangat dilindungi, karena ada adiknya yang duduk dikelas II, mereka masih didampingi pembantu pada waktu istirahat yang membawakan makanan ringan; tentuya karena mereka tidak diperbolehkan membeli sembarang jajanan. Seingat saya, pada waktu itu, umumnya juga tidak ada anak yang membeli maupun orang menjual jajanan. Makanan ringan yang disiapkan untuk mereka, rasanya lux untuk ukuran waktu itu. Antaranya yang saya masih ingat adalah roti yang diisi telor dan selai.; soalnya saya tempo tempo dibagi juga makanan ringan mereka. Bupati rupanya masih kerabat dekat keraton Solo, tata cara mereka sangat halus dan Suyitno tampangnya ganteng sekali. Jika saya diajak kerumah mereka – hanya sampai pendopo; baru tahu tata cara feodal dari cara berjalan (jongkok) pembantu2 dirumahnya. Pertemanan dengan mereka hanya kira kira setahun, karena Bupati keburu dipindah tugaskan ketempat lain. Yang sekarang saya anggap agak lucu, meskipun saya sekolah Belanda; namun tidak pernah diajar oleh guru Belanda. Waktu saya mulai masuk sekolah, guru saya adalah juffrouw Reni yang menurut kesan saya ia memakai sarung kebaya bukan rok. Muka juffrouw Reni sudah tidak terbayang jelas, namun saya merasa sangat dilindungi oleh beliau. Mungkin jika saya menangis atau ketakutan waktu digoda teman teman, saya selalu dirangkul dan diperbolehkan melendot padanya. Kesan aroma bau kain batik sogan dan baru diseterika sepertinya melekat dalam benak saya sampai sekarang dan mendatangkan perasaan aman dan damai. Guru berikutnya dikelas II dan kelas III adalah juffrouw Siem, seorang keturunan Tionghoa yang orang tuanya memang tinggal dikota kecil kami.

Ketika Jepang mulai datang, kita semua menjadi miskin karena mata uang Belanda dianggap tidak berlaku dan perdagangan dan kegiatan ekonomi praktis berhenti sama sekali. Pembantu laki laki semua pulang kampung karena takut dijadikan romusha oleh Jepang. Kota kota praktis terisolir, karena dalam praktek tentara Jepang hanya dapat mengurus sampai dalam kota kota saja. Bahan makanan utama seperti beras dll hanya bisa didapat dari pembagian lewat kupon dan baru belakangan bisa didapat secara umum. Keperluan bahan bahan makananan lain, praktis dilakukan dengan cara barter. Entah berapa lama kemudian, sekolah mulai dibuka. Gedung sekolah HCZS di gunakan untuk sekolah Jepang/Tionghoa; akan tetapi guru gurunya sebagian besar direkrut dari kalangan orang Tionghoa setempat dan tidak ada guru bangsa Jepang. Meskipun dinamakan sekolah Jepang/Tionghoa, bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia/Melayu. Entah mengapa, semua muridnya adalah orang Tionghoa dan tentu kalangan pergaulan juga menjadi berbeda dari waktu zaman Belanda. Ini karena bekas murid ELS, murid HCZS, murid HIS dan lain lain bergabung menjadi satu. Kelihatannya asal usul sekolah menyebabkan perbedaan pergaulan sosial muridnya; secara garis besar dibedakan yang babah dan yang totok. Keistimewaanya sekolah selalu dimulai dengan upacara, mulai dari penghormatan bendera Jepang dan sumpah dalam bahasa Jepang yang maksudnya mungkin sumpah setia pada kerajaan Jepang. Baris berbaris sambil menyanyikan lagu lagu Jepang merupakan kegiatan rutin. Masih banyak lagu yang sampai sekarang masih ingat, tetapi rasanya sudah tidak orisinil sebab tercampur bahasa Jawa untuk lelucon. Periode ini lebih banyak mainnya daripada sekolahnya, namun jika dipikir-pikir aneh juga sepertinya jumlah teman baik tidak bertambah; mungkin lingkup pergaulan hanya terbatas pada anak tetangga tetangga dekat yang itu itu juga. Seperti telah disinggung dimuka, perbedaan asal usul sekolah sepertinya membedakan strata pergaulan antara yang babah dan yang totok. Golongan anak anak babah relative umurnya lebih besar dan sudah membentuk etika pergaulan dan etika tata cara berpakaian yang dipengaruhi sekoleh Belanda. Dalam hal ini, golongan murid yang termasuk golongan totok dianggap tidak memenuhi standar kebiasaan pergaulan anak babah dengan latar bakang keuangan keluarga yang lebih mapan. Mereka (golongan totok) dianggap tidak rapi berpakaian, kurang menjaga kebersihan— terutama yang masih kecil kecil dsb. Oleh karena itu, dalam pergaulan sering sering dikucilkan; bahkan ada anak anak golongan babah yang suka menteror secara psikis atau fisik. Meskipun saya termasuk golongan babah, sering saya harus membela anak golongan totok yang diperlakukan secara keterlaluan oleh murid golongan babah yang nakal. Oleh karena itu, saya jadi termasuk murid yang lebih banyak bergaul dari golongan totok ketimbang golongan sendiri. Biasa anak anak dimana saja selalu suka saling menggoda atau menggoda anak yang lebih kecil, namun secara etika umumnya penggodaan itu akan dihentikan jika yang digoda telah merasa marah atau menunjukkan rasa tidak senang, sehingga tidak mencederai pergaulannya. Ada teman yang badannya jauh lebih besar dan menggoda terus menerus; meskipun saya sudah berkali-kali mengatakan saya sudah tidak senang lagi, ia masih terus melucu dan menggoda goda saya sehingga saya benar menjadi sangat marah. Saya ambil saja batu yang agak besar serta terus memburu dan setelah dekat melemparkan padanya. Saya sempat lihat mukanya pucat pasi ketika saya melempar “batu” sekuat tenaga dan ia tidak dapat menghindar; untung rupanya itu bukan batu beneran dan hanya tanah yang lama menjadi satu dengan bekas bola karet latex sehingga bentuk dan warnanya persis seperti batu sehingga ia terhindar dari cedera berat. Rupanya peristiwa itu dilihat banyak teman teman lain, sehingga antara semua teman teman tidak ada yang menggoda kelewat batas ; karena mereka melihat saya akan melawan mati- matian siapa saja yang sudah keterlaluan. Bagi saya sendiri, peristiwa ini rupanya menjadi dasar pertumbuhan kepercayaan diri yang akan terbentuk pada periode pergaulan kedua yang akan disambung ceritanya.

 

 

—ooooo000ooooo—

Print Friendly

One response to “T E M A N B A I K

  1. Masa-masa suram semoga tiak akan terjadi lagi

Leave a Reply to rosihandayani Cancel reply

Your email address will not be published.