T EM A N T E M A N B A I K

Download PDF

P E R I O D E III

 

Oleh : SPL.

 

Mungkin ceritera periode III ini baik dimulai dari udar rasa saya pada teman istimewa saya Hongyu yang praktis berpisah mulai dari periode II kehidupan saya :

” Enam puluh tahun lebih kita telah berpisah, masing masing memilih jalan hidupnya sendiri.

Tiada tangis dan tidak ada kepedihan perpisahan, seakan hal ini sudah digariskan sang ILAHI.

Aku memilih mimpi dijalan menara gading, menuju ilusi yang tidak terbayangkan.

Engkau memilih memasuki kehidupan dunia nyata, sebagaimana orang lelaki yang berangkat dewasa.

Selama ini tidak ada komunikasi ataupun usaha berhubung, karena perjumpaan insan dari dunia berbeda,

dapat menghapus jejak kebersamaan indah yang telah terpateri.

Bayangkan aku hanya dapat menyapa : ” Apa kabar teman ??” Dan kamu menjawab : ” Apa kamu sudah makan, kawan ?? ”

Kemudian bisu seribu Bahasa, karena tidak dapat menyambung cerita dua dunia yang berbeda. ”

 

Periode III dimulai dari saat saya pergi ke Tegal untuk bersekolah Tionghoa dengan membawa adik perempuan dan sepupu sepupu yang lebih muda dengan konvoi militer Belanda dari Purwokerto ke Tegal. Waktu itu ( kira kira pertengahan tahun 1949 ), perjalanan darat dari Puwokerto ke Tegal dianggap kurang aman, sehingga hanya bisa dilakukan dengan menumpang konvoi truck tentara Belanda. Oleh karena konvoi berangkat pagi pagi sekali, maka kami harus menginap dirumah famili di Purwokerto. Saya lupa dimana kami diturunkan dari konvoi sesampainya di kota Tegal, namun kami semua tiba dengan tidak kurang suatu apa dirumah kos kami.

Untuk dapat masuk ke kelas SMA ( Kaochung ) kelas 1 yang baru dibuka di Tegal, saya harus melalui ujian saringan. Ujian saringan ini berlaku untuk semua murid baru dari luar kota, yang jumlahnya lebih dari 10 orang, baik yang mempunyai ijazah SMP ( Chuchung ) kelas 3 atau yang belum lulus SMP seperti saya. Saya tidak jelas mengapa sekolah Tionghoa di Tegal terkenal dan dianggap bagus, belakangan baru tahu bahwa murid murid dari luar kota termasuk dari kota Gombong, Kebumen, Cilacap, Purbalingga, Purworedjo, Temanggung, Magelang , Muntilan, Rembang, Jepara Semarang, Pekalongan, Pemalang, Slawi dan Brebes.

Saya sempat merasa minder dan grogi waktu berdiri dalam barisan yang ingin ujian masuk di SMA, karena rekan rekan sya sepertinya lebih besar dari saya, apalagi saya memang tidak berbekal ijazah SMP. Entah untung atau memang memenuhi kualifikasi atau karena semua yang ikut ujian masuk diluluskan, akhirnya saya diterima juga dikelas 1 SMA.

Hari pertama masuk sekolah masih sangat terkesan untuk saya dan mungkin untuk guru kepala. Yang mengajar adalah guru kepala sendiri; setelah sedikit ia bercerita mengenai matematika/ilmu ukur, ternyata ia mengadakan semacam test untuk menyelesaikan satu atau dua soal ilmu ukur. Ia membagikan kertas ujian dan setelah memberi instruksi bagaimana menuliskan nama dsb, ia mengatakan siapa yang bisa menyelesaikan soalnya, harus meletakkan kertas ujian dibagian depan bangku duduknya. Kebetulan soal diberikan masih termasuk soal ilmu ukur SMP kelas 2; sehingga saya dapat menyelesaikan dengan sangat cepat. Oleh karena sebagai murid yang badanya paling kecil, saya duduk dibangku paling depan, sehingga kertas ujian yang saya taruh dibagian muka bangku dapat dilihat oleh murid murid yang duduk dibelakang. Setelah saya taruh kertas ujian dibagian muka bangku, guru pura pura tidak memperhatikan, rupanya ia kuatir saya ” give up ” tidak dapat menyelesaikan soal yang diberikan dan tidak tega untuk langsung menanyakan karena mungkin terlalu cepat mengerjakannya. Kemudian setelah saya hanya duduk tenang tenang menunggu, ia menghampiri saya dan dengan pelahan ia bertanya apa ada masalah ? Waktu saya menjawab tidak ada masalah, ia menanyakan lagi apa saya sudah selesai mengerjakan soal dan saya tentu bilang menurut saya sudah. Baru ia manggut manggut dan mengambil kertas ujian saya untuk diperiksa. Tentunya tanya jawab ini mengundang perhatian dan diketahui teman teman kelas yang lain.

Rupanya guru kepala sudah sempat memeriksa pekerjaan saya dan setelah mengumpulkan kertas pekerjaan dan teman sekelas lain, ia sempat mengatakan saya telah mengerjakan soal dengan benar. Ia menanyakkan saya asal dari mana; ketika saya mengatakan dari Purbolinggo, ia kembali manggut manggut tanpa komentar. Mungkin perlu dijelaskan disini, bahwa kira kira 2 tahun sebelumnya, ada 4 siswa dari Purbolinggo; yaitu Swiyan, Yunge, Honggun dan Yanki, masuk sekolah di Tegal. Rupanya reputasi mereka sebagai murid murid yang pintar/top dikelas cukup dikenal antara sesama murid maupun oleh guru guru. Kemudian setahun sebelum saya, Yanoan dan Yanbeng kakak beradik dari Purbolinggo, juga sekolah ke Tegal dan Yanbeng rupanya menduduki rangking teratas dikelasnya. Angkatan pertama dari Purbolinggo satu dan satu setengah tahun sebelum saya ke Tegal pindah kesekolah Belanda yang mengadakan sistim ” herstel ” , kecuali Honggun. Jadi waktu saya dan adik adik kelas dari Purbolinggo datang sekolah ke Tegal, memang sepertinya sudah digelar semacam ” karpet merah ” untuk murid murid dari Purbolinggo. Oleh karena itu, generasi saya mendapatkan semacam ” kind and warm welcome” dari guru2 dan murid2 sekolah Tionghoa Tegal.

Terus terang saya malah tidak memperlihatkan prestasi belajar yang bagus, saya lebih aktif dimana-mana selain bidang studi dan ikut hampir semua kegiatan olah raga, ikut aktif diperhimpunan siswa maupun kegiatan ekstra kurikuler lainya. Dibidang basket, jika di Purbolinggo saya sangat mudah menggiring bola sampai dibawah ring basket untuk memasukkan bolanya ( karena lebih gesit dari pemain yang badanya praktis sama besar ); tetapi di Tegal dengan pemain yang rata rata jauh lebih tinggi besar badanya, saya jadi mati kutu. Celakanya sangat payah jika harus shooting jarak jauh — belakangan baru ketahuan satu mata saya tidak bekerja/lazy-eyed, sehingga tidak mempunyai “sense of distant/depth”. Sebagai tim satu kelas, saya hanya lebih banyak duduk dibangku cadangan. Tentang sepak bola masih termasuk kategori pemain top, gara gara pada waktu pertandingan sepak bola sekolah Tionghoa dengan SMA negeri ( tanpa pakai sepatu ), saya beruntung mencetak goal tunggal, sehingga kita keluar sebagai pemenang. Mengenai badminton, di Tegal , ternyata jago kampung masih jauh dibawah teknik bermain dan tinggi badan teman pemain lain, untung masih dianggap sebagai sparring partner dikala latihan. Tentang pingpong, pegang raket saja hampir tidak berani, kecuali hanya menemani cewek cewek belajar pingpong. Atletik sih ikut ikut saja, karena tidak pernah latihan dan hanya ikut jika ada pertandingan saja. Saya pernah termasuk anggota tim estafette sekolah pada waktu perlombaan estafet lari umum. Ada tim tentara Belanda dan tim 2 lain, termasuk tim sekolah Tionghoa. Jarak total perlombaan lari kalau tidak salah 5 km dan tiap orang harus lari 500 meter. Saya ketika itu benar benar demam panggung, ketika lari rasanya menjadi sangat capai dan beberapa kali disusul pelari dibelakangnya. Namun pada kesempatan lain, saya sempat jadi juara loncat jauh disekolah. Oleh karena praktis mengikuti sema jenis kegiatan olah raga, maka teman2 juga berganti ganti. Yang rutin berlatih badminton ada Kingking dengan adiknya Kimhin ( asli Tegal ), ada Liangtin ( cowok –asal Muntilan ) dan ada Guntong dan Gunhwi yang asal Temanggung. Dalam sepak bola ada Liangtsai yang satu kelas, Hiantay yang satu kelas dibawah dan lainya lupa sama sekali. Basket lebih bersama teman eselon II yang badannya hampir sama, yiatu Hiantay, Swikiam, Na-y dan Samyu. Waktu duduk dikelas akhir saya juga sempat belajar main tenis; meskipun latihanya rutin tiap minggu, tetapi siapa saja teman mainya sudah tidak ingat lagi.

Kegiatan olah raga yang dilakukan sekaligus parawisata. Yang saya sangat senang mengikuti adalah jika kami melakukan pertandingan pertandingan olah raga diluar kota sambil melihat lihat tempat tempat parawisata yang ada pada tiap tempat/kota yang dikunjungi. Rombongan kami biasanya terdiri dari regu basket pria dan wanita; regu pinpong pria dan wanita dan regu sepak bola. Jika kota yang kami kunjungi relative lebih necil dari kota Tegal, umumnya regu basket dan regu pinpong kami selalu memenangi pertandingan. Tentu jika kota yang dikunjungi adalah Semarang, biasanya pertandingan menjadi sangat menarik karena umumnya sama kuat. Akan tetapi, kesebelasan sepak bola biasanya kalah, karema kami harus bertanding dengan kesebelasan orang dewasa karena umunya dikota kota tersebut tidak ada regu sepakbola siswa sekolah. Entah mengapa, badminton hampir tidak pernah dipertandingkan, padahal regu badminton sekolah Tegal sangat kuat.

Selama tiga tahun saya indekos di satu tempat dijalan Pecinan, yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Oleh karena itu umumnya kita jalan kaki kesekolah dan tidak semua anak kos mempunyai sepeda. Rumah kos berbentuk seperti huruf L dan karena letaknya praktis dipojok, maka ada 2 pintu masuk, dari toko dan dari jalan samping. Bangunan rumah dibagian jalan Pecinan merupakan bangunan 2 tingkat, lantai kedua terletak diatas toko yang cukup luas dijadikan tempat kos anak lelaki. Satu sisi berisi deretan sekitar 8 buah tempat tidur, bagian lain masih ada 2 tempat tidur dan sisanya merupakan tempat umum. Lantai tingkat terbuat dari konstruksi kayu, sehingga jika terlalu ribut main diatas, terdengar jelas pula dari toko. Rupanya saya penghuni paling lama, ada 2 teman yang bersama tinggal 2 tahun, yaitu Yanbeng dan Jingswan. Yanbeng asal satu kota dengan saya dan merupakan anak paling pintar dikelas. Fisikya kurang kuat, sehingga praktis dia tidak pernah ikut olah raga. Jingswan asal Muntilan dan rupanya berasal dari keluarga yang berbahasa Belanda dirumahnya. Ia pandai main biola dan suara nyanyianya juga bagus. Ia juga tidak terlalu suka olah raga dan entah bagaimana cukup cocok dengan saya sehingga teman baiknya; yaitu Jingtong juga jadi teman baik saya, meskipun mereka berbeda satu kelas dibawah saya. Jingswan pulang dan sekolah di RRT, lucunya setelah 45 tahun lebih bertemu di Jakarta, Bahasa Indonesianya jadi “PELO “, persis seperti orang Tionghoa totok yang baru datang ke Indonesia. Setelah lulus, ia bekerja dibidang perminyakan dan menikah dengan orang dari Harbin ; selama 40 tahun praktis tidak pernah ketemu orang dari Indonesia. Ada lagi Na-y dan Yangwan yang asalnya juga dari daerah saya. Kelas mereka kalau tidak salah 2 kelas dibawah saya, tetapi keduanya teman olah raga basket saya juga. Ada lagi Kianwi dan Hoke yang sekelas denga Yangwan dan Na-y. KIanwi orangnya sangat pelupa, sehingga selalu kita goda goda; tetapi anehnya ia malah sekolah dan lulus jadi dokter. Kami anak anak kos setelah makan malam, senangnya jalan jalan sampai alun alun, perlunya cuma beli kacang goreng ( mungkin juga sambil mejeng, karena siswa dari luar kota biasanya dihargai masyarakat Tegal ) masing masing satu bungkus yang habis dimakan dijalan. Ditempat kos juga ada kos untuk anak perempuan, rupanya mereka dikumpulkan dalam satu kamar yang agak besar sehingga muat 3 ranjang dan tempat meja belajar dilantai bawah dekat kamar makan.

Sebenarnya kondisi sekolah Tionghoa Tegal waktu itu juga sedang kritis, terutama karena banyak muridnya yang pindah kesekolah Belanda dan guru guru SMA tidak mencukupi. Sebagai contoh, kelas 2 yang baru berjalan ½ tahun terpaksa ditutup karena jumlah muridnya tidak cukup. Selain itu, mungkin juga ada faktor lain yang berbau politis. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1949 , pemerintah Kuomintang terusir dari daratan Tiongkok dan meneruskan Republik Tiongkok di Taiwan dengan Taipei sebagai ibu kotanya. Mao Tse Tung mendirikan Republik Rakyat Tiongkok dengan Beijing sebagai ibu kotanya. Jadi sekarang ada 2 Tiongkok dan keadaan ini tentu mempengaruhi sekolah Tionghoa, karena mau tak mau harus memilih akan berkiblat kemana. Kondisi ini sebenarnya semula tidak dirasakan oleh murid murid dan sebagian guru guru. Ketegangan timbul karena Ketua pengurus sekolah mendadak memecat seorang guru SMP; dan tindakan ini rupanya tidak dikoordinasikan dengan kepala sekolah maupun dewan guru. Ada solidaritas dari sebaagian guru yang ingin menanyakan apa alasan pemecatan itu; namun kelihatanya badan pengurus terlalu memperlihatkan sifat otoriternya dan tidak berusaha menenangkan kegelisahan sebagian guru guru dan murid murid akibat tindakan tersebut. Puncak ketegangan tercetus oleh alasan yang sepele, yaitu karena salah satu murid dipukul dengan raket tenis oleh Ketua Badan Pengurus. Peristiwaya sendiri terjadinya tidak jelas, apakah si murid itu menyerempat Ketua Pengurus atau mobilnya ketika para pengurus main tenis disekolah. Yang menjadi pahlawan golongan progresif tersebut kalau tidak salah adalah Swikiam. Bagi yang mengenal cukup baik Swikiam, hal ini agak mengherankan; karena kami umumnya mengenal ia memang senang guyonan nakal nakal, tetapi ” passionnya ” hanya olah raga.. Memang body languagenya termasuk apa yang dalam bahasa Jawa disebut gemalang gemeleng ” kaya orang sombong “, sehingga kemungkinan waktu percakapan/cekcok kata kata menyebabkan ia dipukul, padahal sebenarnya ia anak biasa biasa saja sifatnya. Kejadian ini menyebabkan murid murid mengadakan demonstrasi keliling kota untuk memprotes perlakukuan Badan Pengurus Sekolah. Oleh karena Honggun adalah salah satu tokoh mahasiswa pembangkang, maka saya ikut ikut saja. Kami sempat mengatur barisan yang cukup banyak murid yang ikut ( mungkin mendekati seratus orang ) dan beberapa teman sudah mengantongi batu batu katanya untuk membela diri kalau diserang ( oleh siapa ? ). Barisan ini sempat keluar sekolah sambil meneriakkan yell yell, tetapi kepala polisi yang mengawal dengan sepeda motor cukup pintar menangani hal ini, tidak berapa lama, barisan dibelokan lagi masuk sekolah, jadi tidak sampai ke jalan jalan besar dikota yang dapat menghebohkan. Setelah sampai disekolah, dengan damai barisan dapat dibubarkan, seolah olah maksud barisan untuk demonstrasi sudah tercapai dan tidak ada tokoh murid yang saat itu ditahan. Namun kejadian ini menyebabkan sekolah diliburkan untuk waktu yang tak tertentu. Murid murid golongan progresif mengorganisir semacam ” self study “, sehingga murid murid ini mencoba mengadakan semacam pembelajaran dengan salah satu murid yang ditugasi menjadi semacam guru pelajaran. Dikelas saya, murid lelaki yang ikut kegitan ini cuma sedikit, tetapi hampir semua murid murid perempuan ikut. Golongan yang non-progresif tidak melakukan kegiatan semacam ini, namun mereka cuma bergerombol kumpul ditempat tertentu. Untung keadaan ini tidak berjalan sampai 1 bulan, tidak lama kemudian sekolah dibuka lagi dan se-akan akan peristiwa ini tidak pernah dibicarakan lagi. Rupanya tokoh tokoh mahaiswa dikelas Honggun setengah dipaksa pindah kesekolah lain, karena kelas mereka resmi ditutup. Badan Pengurus Sekolah juga se-akan akan tidak lagi mencampuri urusan guru guru sekolah, karena tidak ada yang khusus dipecat. Mungkin ada sebagian yang diblack list kontrak kerjanya tidak diperpanjang, tetapi hanya guru kepala dan dewan guru yang tahu persis persoalanya. Akibat peristiwa ini ada sebagian murid dari luar kota yang pindah sekolah juga, sehingga pada waktu saya duduk dikelas 2 SMA, muridnya tinggal kira kira tinggal 20 orang lebih. Pada waktu duduk dikelas 3, murinya tinggal 7 orang; yaitu Guntong, Gunhui, Liangtsai, Wichai dan saya berlima murid laki laki serta Hin dan Layhwa 2 murid perempuan. Ketujuh murid ini kompak sekali dan prestasi sekolahnya juga diatas rata rata dari kelas lain ( mungkin semua angka rapornya rata rata 7 lebih dan Guntong yang tertinggi )) . YANG AGAK UNIK Guntong dan Gunhui yang dulunya condong kearah kelompok non-progresif malah yang pertama-tama meneruskan sekolah ke RRT. Hin menjadi ibu rumah tangga sedang Layhwa, Liangtsai, Wichai dan saya meneruskan sekolah di ITB; tetapi kemudian Liangtsai menyusul ke RRT dan Wichai pindah ke Surabaya untuk sekolah dan menjadi dokter. Ketujuh murid kelas kami rasanya sangat kompak dan dekat satu sama lainya; rasa sepenangung sependeritaan sangat tertanam di masing masing. Meskipun demikian, kami juga tidak menangisi perisahan yang tidak dapat di-elakan karena masing masing harus memilih jalan dan masa depan yang berbeda.

Seperti yang pernah saya utarakan dimuka, saya juga aktif dalam kegiatan himpunan siswa. Saya hampir selalu ikut rombongan siswa, jika kami harus meminta sumbangan sumbangan dari masyarakat untuk sekolah. Saya juga giat mengikuti diskusi sikap apa yang harus kita pilih dalam persoalan kewarganegaraan, melepaskan kewarganegaraan RRT atau tetap memegang kewarganegaraan RRT dan lain lain topic yang dianggap relevan. Seingat saya , guru guru tidak pernah mempengaruhi pendapat masig masing murid, mereka cuma mengarahkan/mengingatkan untuk memikirkan hal hal tersebut secara rasional dengan memperhatikan kenyataan yang harus dihadapi, jangan hanya mengambil putusan dari perasaan saja. Tentunya akhirnya pembahasan hal hal tersebut akan mengerucut pada pertanyaan, apakah ingin tetap hidup di Indonesia atau ingin meninggalkan Indonesia dan mencari penghidupan di Tiongkok. Meskipun tidak pernah didiskusikan, dari tulisan tulisan yang ada dalam buku yang diterbitkan pada waktu perayaan sekolah, gambaran problema yang dihadapi sekolah Tionghoa juga saya baca dan renungkan. Saya perhatikan bahwa kurikulum yang dianut sudah dikaitkan dengan cara pemilihan kesempatan kerja/kehidupan di Indonesia. Untuk memenuhi kualifikasi guru, beberap kelas matematika dan fisika diambil dari guru SMA negeri. Bahkan karena mengira Belanda bakal bercokol lagi di i Indonesi disekolah juga diajarkan pelajaran Bahasa Belanda. Akan tetapi usaha usaha demikian tidak melepaskan dari persoalan utama apakah sekolah Tionghoa memang masih relevan untuk mereka yang memang ingin hidup dan menjadi warga Negara Indonesia ? Jawabannya mungkin jelas dengan kenyataan tertutupnya hampir semua sekolah Tionghoa dikota kota kecil di Jawa. Kiranya renungan ini dapat dijadikan penutup tulisan periode III.

 

 

 

 

Print Friendly

2 responses to “T EM A N T E M A N B A I K

  1. menarik sekali untuk dibaca.

  2. Cerita yang sangat menarik, memberi inspirasi

Leave a Reply to Dewi Cancel reply

Your email address will not be published.