R E N U N G A N D I H A R I T U A

Download PDF

Oleh – spl.

Beberapa waktu lalu, saya mendapat forwarded email dari teman yang berisi ” Renungan hari ini ….. TUA. Rupanya penulisnya yang membuat renungan dihari tua itu dan coba mengutarakan hasil renunganya untuk sharing bersama rekan rekan yang umurnya sudah cukup tua sedang dalam ” mood ” tertentu. Ada 2 points diakhir renunganya yang tertulis :–

6. Kasih orang tua kepada anak tidak ada batasnya, kasih anak terhadap orang tua ada batasnya. Sadarlah. Anak sakit hati orang tua teriris iris. Orang tua sakit, anak hanya nengok dan tanya tanya doang. Anak memakai uang orang tua sudah seperti keharusan, tetapi orang tua memakai uang anak pasti tidak leluasa. Oleh karena itu CUKUPILAH diri sendiri dan berikan pada anak sebijaksana mungkin.

7. Rumah orang tua adalah rumah anak, tetapi rumah anak bukan rumah orang tua. Orang tua selalu memberi tanpa pamrih, tetapi tidak semua anak akan berbakti kepada orang tua.

Terus terang, saya tidak jelas bagaimana “mood” penulis renungan ini ketika ia mencetuskan pendapatnya, namun sangat terasa bahwa ia sedang terlalu pesimistis. Oleh karena iapun pasti sadar bahwa hubungan orang tua dan anak yang ia ” amati dan utarakan “; tidak berlaku secara umum. Namun bukan hal itu yang menarik saya untuk memberikan komentar tentang apa yang ia tulis, karena pada intinya hal ini adalah tanggung jawab untuk berbakti pada orang sebagaiman diajarkan dalam filosofi Confucianisme ( Konghucu ) dan dianut oleh sebagian besar orang keturunan Tionghoa dimanapun ia berada dan telah dianggap sebagai salah satu keunggulan warisan budaya Tionghoa. Saya sengaja menggunakan memilih kata tanggung jawab dalam pengertian hukum; yaitu secara hukum modern apakah kita memang bertanggung jawab merawat orang tua ?? Karena saya coba menganalisanya dari segi hukum kehidupan sosial manusia zaman kini, mana yang kita anggap benar?? Sebenarnya secara hukum dinegara-negara modern, tanggung jawab sesorang adalah pada generasi dibawahnya sampai yang bersangkutan menjadi dewasa.. Jadi tanggung jawab seseorang adalah pada anaknya dan bukan sebaiknya atau dua-duanya. Akan tetapi, semua budaya didunia menekankan rasa cinta dan perbuatan berbakti pada orang tua, hanya mungkin budaya Tionghoa yang lebih menekankan hal itu, sehingga mencintai dan berbakti pada orang tua menjadi tolok ukur baik tidaknya prilaku seseorang dan sering dianggap sebagai tanggung jawab hukum juga.

Sebagai keturunan Tionghoa yang hidup pada zaman modern kini, saya dapat merasakan dilemma dan kesukaran untuk menjalankan warisan budaya Tionghoa ini sesuai pemikiran aslinya. Justru setelah saya menjadi orang yang berusia lanjut dan merupakan peran objek dari hal yang dibahas tersebut; saya berani mengutarakan pendapat saya yang mungkin dianggap ekstrim. Dasar pendapat saya ini didasari alasan praktis untuk kebaikan bersama orang tua dan anaknya. Bahwa sebagai orang tua yang baik; sudah menjadi tanggung jawab utamanya untuk merawat , membesarkan dan mendidik anak2-nya serta membekali kemampuan yang baik untuk kemudian melepaskan mereka dalam perjuangan dan karir hidup mereka dimasyarakat. Rasanya tidak ada yang tidak setuju tentang hal ini dan menyanggah tanggung jawab ini. Juga tugas ini seharusnya dilakukan dengan perasaan kasih sayang dan rasa memiliki anak2-nya serta dilakukan dengan sepenuh hati serta pengorbanan tanpa pamrih. Peran dan pengorbanan orang tua ini terutama dilakukan oleh ibunya anak anak; meskipun hal ini sering dianggap wajar wajar saja. Dapat dimengarti orang tua yang telah melaksanakan hal itu dan pada hari tuanya membutuhkan dan mengaharapkan cinta kasih dan perhatian dari anak anaknya juga sangat wajar . Namun kondisi anak anaknya mungkin biasanya belum terlalu mapan karena mereka juga sibuk mengejar karir dalam perjuangan hidupnya dan harus membesarkan, merawat dan membekali bekal hidup untuk anak anak mereka; oleh karena itu mungkin tidak dapat memberi perhatian penuh kepada kebutuhan orang tua seperti yang di-idam idamkan orang tua. Celakanya umumnya orang tua menjadi sangat perasa/sensitif ketika mengetahui kemampuan dan kesehatanya menurun banyak, sehingga kesedihan akibat idaman pengharapan akan prilaku anak anaknya yang belum tercapai , menjadi beban yang lebih/sangat berat.

Kita semua umumnya akan terharu atas ceritera ceritera kuno, bagaimana seseorang anak berbakti pada orang tuanya, namun jarang yang berpikir lebih lanjut, karena kadang kadang kesan cerita menjadi agak lain, jika anda menempatkan diri sebagai orang tua yang menerima bakti anaknya dalam cerita tersebut dijaman modern ini. Mungkin banyak dari teman teman yang mendengar cerita kuno dari Tiongkok tentang anak yang sangat berbakti; sehingga pada waktu musim panas, ia berjam jam mengipasi tempat tidur orang tuanya agar ketika orang tua tidur, ranjangnya sudah terasa sejuk. Dan ketika banyak nyamuk dikamar orang tuanya, ia rela tiduran dan membiarkan diri digigiti nyamuk agar nyamuk nyamuk menjadi kenyang dan tidak menggigit orang tuanya lagi Pada musim dingin, ia sengaja tiduran diranjang orang tuanya agar panas badanya membuat tempat tidur orang tuanya menjadi hangat, meskipun dirinya berasa kedinginan setengah mati. Semua orang tentu akan terharu mendengar cerita ungkapan keberbaktian sang anak; akan tetapi pernahkan anda menanyakan bagaimana perasaan orang tua tersebut ketika anaknya berbuat demikian ?? Sebagai orang tua modern, mungkin anda akan marah dan berkata :- ” orang tua macam apa yang tega hati membiarkan anaknya menjadi umpan nyamuk ??” Ibu ibu yang cerdas mungkin berteriak mengapa orang tua bodoh amat, bikinkan kelambu saja kan beres ? Oleh karena itu, dalam persoalan berbakti pada orang tua, kita sebaiknya menempatkan diri sebagai si anak maupun sebagai orang tua; agar perspektif yang kita lihat menjadi lebih objektif. Selain dari itu, mungkin kita lebih realistis jika menempatkan kejadian pada keadaan sosial ekonomi sekarang.

Dimuka saya sudah mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat modern, tanggung jawab sesorang adalah pada generasi bawahnya; namun kiranya sayang sekali jika filosofi terpuji budaya Tionghoa agar anak berbakti pada orang tuanya seharusnya dilestarikan juga. Penerapan filosofi tentunya harus berdasarkan pola dan kondisi kehidupn modern sekarang ini, jangan dipakai kondisi kuno sebagai dasar tolok ukur. Mengingat kita orang tua yang menjadi objek keberbaktian, ada baiknya kita mulai dengan introspeksi prilaku diri, apa telah dapat memupuk rasa dan prilaku berbakti dari anak anak kita ?? Saya percaya kasih saying orang tua pada anak anak pada dasarnya adalah tanpa pamrih; mungkin kemudian timbul harapan agar anak membalas budi dengan mencintai dan berbakti pada orang tua. Kiranya kita sebagai orang tua setuju bahwa penngharapan tersebut perlu dibatasi agar pengharapan ini tetap wajar dan jangan menjadi obsesi, sehingga pengharapan berubah menjadi keharusan; karena jika demikian maka cinta kasih orang tua pada anak anaknya menjadi ADA PAMRIH. Kita merawat dan memelihara anak JANGAN DIANGGAP SEBAGAI INVESTASI; karena jika demikian persoalan berbakti menjadi persoalan bisnis. Kedua, kita sebagai orang tua juga harus melihat perubahan kondisi sosial masyarakat dan makin beratnya perjuangan hidup generasi muda dibanding kondisi kita dulu yang menjadi generasi tua. Sebagai contoh, coba kita tengok kembali keadaan di Indonesia. Waktu kita lulus perguruan tinggi dari jurusan yang terpakai, dengan mudah kita mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang memadai dan umumnya masih diberikaan fasilitas tempat tinggal dan transportasi yang layak. Jika prestasi kerja kita baik dan hidup wajar sehingga dapat menabung, biasanya dalam 10 tahun kita sudah dapat membeli rumah sederhana dan perabotanya, meski kadang kadang ada yang memerlukan sedikit bantuan dari keluarga.

Setelah kita merenungkan hal hal yang saya sebut diatas, tentunya teman teman ingin tahu apa sih saran prilaku sebaiknya dari orang tua jaman sekarang ?? Dalam renungan yang saya terima tersebut, banyak nasihat bagimana sebaiknya orang tua berprilaku. Sebagai contoh pada no. 6 diatas, nasihat agar orang tua mencukupi diri sendiri dan tidak semua hartanya diberikan pada anak anak adalah nasihat yang baik. Menurut saya, mencukupi diri sendiri memang pelaksanaanya agak sukar diterjemahkan dengan benar, sebab pertama tentunya tidak semua orangtua mempunyai kebutuhan yang sama dan kedua “resources” masing masing orang tua juga berbeda. Jika persediaan untuk diri sendiri terlalu besar, nanti setelah orang tuanya meninggal, sisa uangnya menjadi warisan untuk yang berhak ( anak anak ). Jika terlalu kecil, nanti bisa bisa tidak mencukupi kebutuhan. Pembagian warisan ini yang sering sering menyebabkan pertengkaran anak anak, bukan karena nilainya saja, tetapi ada pihak pihak yang merasa haknya diambil/dirampas. Dalam sejarah dunia, sering sering perang saudara adalah perang yang paling dahsyat. Memang selama kita masih hidup, kita dipaksa membuat keputusan yang selalu beresiko, jadi mau tidak mau kita harus menentukan kebijaksanaan sebijaksana mungkin, tetapi harus sadar bahwa resiko keputusan kita harus ditanggung sendiri akibatnya. Mengenai warisan yang belum dibagi, saya sih condong untuk diberikan pada institusi pendidikan atau yayasan amal-bakti yang anda percayai. Jika kita bijaksana, sebaiknya kita tanamkan sejak kecil pada anak anak kita bahwa alangkah terpujinya prilaku berbakti pada orang tua, karena semua orang tua tentu mengharapkan kondisi/nasib anaknya lebih baik daripada orang tuanya. Mengharap prilaku serta prestasi yang baik anak anaknya dimasyarakat , sehingga membanggakan orang tua. Yang juga mugkin perlu di-ingat adalah semua hal itu perlu disertai keteladan prilaku orang tua. Bagaimana pendapat teman teman sesama warga usia lanjut ??.

Print Friendly

3 responses to “R E N U N G A N D I H A R I T U A

  1. yang penting banyak kegiatan aja. atau banyak melakukan kerja sosial. bagus untuk diri sendiri dan orang lain

  2. Semoga anak2 kita bisa menjadi anak2 yang soleh solehah, berbakti kepada orangtua. aamiin

Leave a Reply to rosihandayani Cancel reply

Your email address will not be published.