SIBP dan Professionalisme Dibidang Perencanaan Bangunan Gedung Tinggi

Download PDF

oleh spl

Intensitas pembangunan gedung tinggi di kota-kota diluar DKI Jakarta, seperti Surabaya, Bandung dan lain-lain tempat mulai meningkat. Hal ini mungkin perlu diantisipasi dengan mengatur salah satu pelaku utama pembangunan, yaitu para perencana bangunan. Tulisan ini akan membahas cara mengatur pemberian izin kerja dan professionalisme para perencana bangunan gedung tinggi tersebut.

Untuk memudahkan pembicaraan, terlebih dahulu akan diuraikan sejarah dan proses registrasi di Amerika Serikat, sebagai bahan perbandingan dengan proses pemberian SIBP di Indonesia.

Hukum registrasi profesi di Amerika Serikat mulai diterapkan untuk ahli gigi (dentists) pada tahun 1883. Dasar pertimbangan utamanya, adalah untuk melindungi pemakai (konsumen) jasa ahli gigi. Sebelum hukum itu diberlakukan, praktek pemakaian jasa ahli gigi diwarnai oleh pemasangan iklan yang berlebihan guna menarik langganan dan tidak jarang yang menjalankan praktek ahli gigi itu sebenarnya mereka yang tidak kompeten seperti tukang cukur dan sebagainya. Akibatnya, banyak sekali keluhan – keluhan dan pengaduan-pengaduan dari pemakai jasa, sehingga pemerintah merasa perlu mengadakan undang-undang registrasi profesi ahli gigi untuk melindungi konsumen dan khalayak ramai dari “malpraktek” dan praktek-praktek orang yang tidak kompeten.

Regitrasi insinyur (Engineer) dimulai dinegara bagian Wyoming pada tahun 1907 dan diikuti oleh negara-negara bagian lain di Amerika Serikat. Pada tahun 1950, seluruh Negara bagian di Amerika Serikat, termasuk “District of Columbia” telah memberlakukan hukum registrasi insinyur sendiri, sehingga seseorang yang telah diregistrasi sebagai Professional Engineer (P.E) di suatu negara bagian, harus mendapatkan lagi registrasi dinegara bagian lain jika ingin bekerja sebagai professional engineer dinegara bagian tersebut. Meskipun masing-masing negara bagian melakukan sendiri registrasinya, akan tetapi prosedur maupun persyaratan registrasi tidak banyak beda berkat usaha Nasional Council of Engineering Examiners (NCEE). Dengan demikian, kwalifikasi P.E diberbagai negara bagian praktis sama, dan hal tersebut memudahkan seorang P.E mendapat registrasi dinegara bagian lain.

Di Indonesia, ketentuan dan pemberian Surat Izin Bekerja Perencana (SIBP) dimulai di DKI dengan SIBP untuk arsitek, untuk ahli konstruksi dan untuk ahli instalasi pada tahun 1975. Latar belakang yang mendorong diterbitkannya SIBP praktis sama dengan diluar negeri, yaitu dimaksud untuk menertibkan cara dan pelaku pembangunan sehingga kepentingan umum maupun semua pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan dapat dijaga sebaik mungkin. Mula-mula proses pemberian SIBP relatip sederhana. Untuk SIBP Arsitek harus ada rekomendasi dari organisasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan untuk SIBP konstruksi rekomendasi dari Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Oleh karena itu, praktis semua sarjana teknik yang menjadi anggota himpunan-himpunan profesi tersebut bisa langsung mendapatkan SIBP. Belakangan, baik dari himpunan profesi maupun dari pemerintah DKI Jakarta, ditambahkan aturan-aturan yang lebih terperinci mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan SIBP dengan klasifikasi tertentu.

Professionalisme dan

masalahnya.

Pertama-tama, baiklah terlebih dahulu dijelaskan pengertian professionalisme melalui difinisi profesi sesuai norma yang dapat diterima dikalangan teknik. Profesi perencana teknik kiranya dapat didefinisikan sebagai “Suatu pekerjaan kerekayasaan (engineering) yang memerlukan keahlian khusus yang didapat melalui proses pendidikan akademik yang cukup lama dan pengalaman kerja yang memadai; dilakukan sesuai etika kerja dan keahlian kerja yang tinggi”. Dengan demikian, professionalisme dapat dijabarkan sebagai perilaku kerja yang mempunyai dimensi “standar keahlian professional, karakter etika professional serta cara kerja dan status pengakuan professional”.

Seperti telah disinggung dimuka, standar keahlian professional didapat melalui proses pendidikan akademik yang cukup lama dan pengalaman kerja yang memadai. Pendidikan akademik tingkat sarjana (S1) umumnya sudah dianggap cukup sebagai latar belakang pendidikan formal minimum seorang ahli teknik professional. Namun dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan serta bertambah rumit dan besarnya proyek-proyek pembangunan, sebagian ahli menganggap latar belakang pendidikan tingkat S2 lebih efisien. Tetapi hal yang lebih penting mungkin adalah pengertian bahwa untuk dapat melakukan profesinya dengan baik, seorang professional harus selalu mengikuti perkembangan ilmu dengan mengikuti pendidikan berkelanjutan (continuing education), kursus-kursus penyegaran (refresher course) dan sebagainya.

Oleh Karena standar keahlian meliputi juga segi pengalaman kerja, maka intesitas dan lama pengalaman kerja dibidang keahliannya merupakan unsur yang menentukan klasifikasi keahlian seseorang professional. Bagi kita di Indonesia, masalah kesempatan mendapat pengalamaan kerja dibidang keahliannya merupakan suatu hal yang masih perlu dipikirkan bersama. Mengenai cara menentukan syarat pengalaman kerja dalam menentukan klasifikasi tingkat profesi, mungkin dapat dipelajari dari peraturan-peraturan yang berlaku dinegara yang lebih maju.

Masalah kedua tentang professionalisme yang cukup peka adalah masalah kode etik profesi. Hal ini perlu dikaji dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Kode etik profesi yang terlalu “puritan” akan menyebabkan hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan konsekwen dan mungkin hanya menjadi hiasan yang tidak berguna dan menjadikan sebagian besar ahli teknik frustasi. Sebaliknya, tanpa etika kerja yang baik, suatu profesi akan kehilangan makna dan statusnya. Masalah ini merupakan masalah yang kiranya paling sukar dicari pemecahannya. Ada hal-hal yang menyangkut diri manusia seperti karakter dan kebersihan hati nurani. Masih menjadi tanda Tanya apakah etika profesi dapat ditimbulkan dalam diri seseorang hanya dengan memberi pengertian? Apakah untuk menjalankan kode etik perlu ada ancaman sanksi? Bagaimana pengarus praktek-praktek yang menjadi kelaziman dalam suatu masyarakat? Oleh karena peliknya masalah ini, hal-hal tersebut kiranya perlu dipertimbangkan dengan bijaksana dan realistis.

Masalah lainnya adalah mengenai cara kerja yang professional. Pada dasarnya, kiranya masalah ini paling mudah dicari pemecahannya karena hambatan dan problemnya mudah diidentifikasi. Yang diperlukan hanya tekad dan usaha yang berkesinambungan untuk mengatasinya. Tentu saja. Masalah ini bisa pula dipelajari dari metoda kerja professional yang telah menjadi kebiasaan di Negara-negara yang sudah maju.

Sebagaimana telah disinggung dimuka, pada dasarnya tujuan diadakannya pengaturan registrasi, pemberian lisensi atau SIBP untuk bangunan adalah : 1) Menjaga kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan umum yang memakai bangunan, 2) Mengamankan properti maupun kepentingan-kepentingan pemberi tugas, dan 3) Menjaga mutu profesi serta kelanggengan profesionalnya.

Landasan dasar untuk melindungi kepentingan umum, kiranya tidak ada yang mempermasalahkan, namum alasan untuk melindungi konsumen belakangan ini menjadi perdebatan pula di Amerika Serikat. Masalah yang dipersoalkan adalah apakah perlu regulasi khusus mengenai hal ini? Bukankah konsumen sudah cukup, sadar akan haknya? Tidakkah regulasi dapat menghambat kreativitas? Perlu dijelaskan bahwa Amerika Serikat merupakan Negara yang menganut falsafah ekonomi pasaran bebas (free market economy), dimana keseimbangan antara harga dan penyediaan diharapkan lebih diatur oleh mekanisme pasar, bukan oleh regulasi pemerintah. Salah satu assumsi utama ialah konsumen telah mempunyai kesadaran dan kemampuan yang mantap untuk secara bebas dan pandai memilih barang/jasa yang disukainya. Hal ini bukan berarti penjual jasa/barang dapat seenaknya memberikan informasi bohong, bahkan pengendalian hukum tentang hal tersebut sangat ketat. Informasi yang tidak benar tentang suatu barang/jasa dapat mengakibatkan penjual barang / jasa di “Sue” habis-habisan. Kembali ke persoalan kita di Indonesia, kiranya dapat disepakati bahwa : a)perangkatan pelaksanaan pengawasan hukum kita belum cukup untuk menghindari kecurangan informasi mengenai suatu produk barang / jasa, b)kondisi pemakai jasa konstruksi umumnya belum cukup “sophisticated” untuk dapat memilah dan memilih mana pemberi jasa yang baik dan mana yang kurang baik, c)etika profesi para professional dalam situasi umum sekarang masih kurang mungkin diterapkan dengan “murni”, sehingga tanpa regulasi yang baik, dikuatirkan pelaksanaan pemberian jasa mengarah kepada praktek-praktek yang kurang terpuji. Atas pertimbangan – pertimbangan tersebut diatas, kiranya kita semua sependapat bahwa pemerintah perlu mengadakan regulasi yang dapat menjamin kepentingan umum serta kepentingan masing-masing unsur terkait. Salah satu caranya ialah dengan pengaturan SIBP.

Isu kedua yang tidak kalah pentingnya adalah proses pemberian SIBP, namun karena hal ini sangat erat kaitannya dengan implikasi dari pengaturan SIBP, maka kedua isu ini perlu dibicarakan secara bersama. Tujuan dan landasan pengaturan SIBP sudah dibicarakan dimuka, maka ada baiknya dikaji terlebih dahulu implikasinya kepada pemegang SIBP. Implikasinya keuntungan kepada pemegang SIBP adalah :

  1. Para pemegang SIBP merupakan “the selected few” yang secara formal diakui keahliannya dan secara hukum dilin-dungi untuk menjalankan profesinya, bebas dari persaingan mereka yang tidak memegang SIBP.
  2. Dengan status tersebut, penghasilan mereka “relatip” terjamin dan tentunya mereka mendapatkan pula keuntungan status sosial dalam pandangan masyarakat.
  3. Oleh karena merupakan kelompok eksklusif yang mempunyai kewenangan untuk memberikan jasa-jasa peren-canaan, maka mereka cenderung menetapkan tarip sesuai sudut pandang mereka.

Ketiga hal tersebut diats adalah wajar dan baik jika ada keseimbangan antara keahlian, tanggung jawab dan imbalannya. Agar keseimbangan tersebut dapat ditentukan secara objektif, maka proses pemberian SIBP yang meliputi proses pengendalian mutu dan perilaku jawab (liability) dan proses penentuan imbalan; perlu diatur bersama oleh berbagai pihak. Pihak-pihak yang berkepentingan meliputi paling sedikit pihak himpunan profesi dan pihak pemerintah yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan Negara. Bentuk badan pemerintah yang mengatur proses SIBP kiranya dapat mendekati “Licening Boards” di Amerika Serikat (4). Mengingat proses pengaturan yang diusulkan menyangkut pula klasifikasi SIBP, maka pembicaraan tentang kelanjutan proses pengaturan dilanjutkan dibagian 4 dibelakang ini.

Klasifikasi SIBP

Pada dasarnya dapat dibedakan klasifikasi SIBP berdasarkan bidang keahlian dan klasifikasi SIBP berdasarkan tingkat keahlian. Perlunya kalsifikasi berdasarkan bidang keahlian kiranya tidak dipermasalahkan, karena kita semua menyadari pada tingkat kemajuan ilmu seperti sekarang, tidak mungkin seorang menjadi ahli dari segala bidang teknologi. Yang justru patut dibicarakan mungkin adalah bagaimana pembagian keahlian yang kiranya sesuai dengan kebutuhan dan keadaan kita di Indonesia? Dibidang struktur bangunan, belakangan di DKI mulai dibicarakan perlunya dibedakan antara keahlian strktur atas bangunan dengan keahlian teknik fondasi, termasuk geoteknik. Sebaliknya, oleh sebagian orang dianggap bahwa pembagian keahlian SIBP instalasi di DKI sudah dibagi menjadi terlalu banyak bidang. Dampak dari hal-hal tersebut tentu tidak lepas dari persoalan pemerataan kesempatan, dampak “high cost economy” dan lain-lain. Oleh karena semuanya hal ini tidak terlepas dari sistem ekonomi yang ingin dianut dalam rangka tinggal landas pembangunan negara kita, maka tidak ada salahnya jika kita menyinggung persoalan yang bersifat makro.

Sesuai kondisi masyarakat dan falsafah Pancasila, kiranya kita semua cenderung mendambakan sifat kegotong-royongan, dimana “yang kuat” membantu “yang kurang kuat” untuk maju bersama. Kita mendambakan untuk menikmati “kueh” hasil pembangunan secara bersama dan bukan yang paling kuat atau pemenangnya saja yang mengambil seluruh “kueh” tersebut. Namun disadari pula bahwa dalam pengaruh globalisasi sekarang ; “Kueh” yang dapat dibagi bisa membesar atau mengecil, bahkan bisa hilang sama sekali jika secara nasional kita tidak dapat bersaing dengan bangsa dan negara lain. Disadari bahwa untuk dapat memperbesar “kueh”, kita harus terlebih memupuk hasil kerja untuk dijadikan modal usaha selanjutnya dan bukan langsung dibagi-bagi. Untuk dapat bersaing dengan bangsa lain, usaha kita harus mempunyai “economic scale” yang cukup besar sehingga pengelolaan dan operasi usaha dapat menjadi efisien. Untuk dapat bersaing, kita memerlukan banyak tenaga professional yang tangguh dan mampu. Professional kita hanya dapat menjadi tangguh dan mampu jika kita dapat menghargai rekan yang bekerja keras dan berpretasi. Sesuai kodrat manusia, rupanya manusia akan berusaha lebih berprestasi jika mereka juga mendapat ganjaran imbalan yang lebih baik dari mereka yang tidak berprestasi. Idealisme agar semua berusaha sekuatnya tetapi hanya diperbolehkan menikmati hasil jerih payah “seperlunya” seperti yang dianut system ekonomi negara komunis kelihatannya terbukti gagal dalam persaingan ekonomi global.

Dalam kondisi Indonesia sekarang ini, kita harus tetap waspada agar tujuan pemerataan jangan menyebabkan kita membagi bidang keahlian SIBP menjadi sedemikian banyaknya sehingga lebih bersifat “mengada-ada”, yang tentunya akan menyebabkan pula dampak “high cost economy” pada pembangunan gedung.

Selain pembagian bidang keahlian, daerah berlakunya SIBP juga ada keterkaitannya dengan masalah pemerataan kesempatan. Oleh karenanya perlu dipikirkan apakah SIBP DKI Jakarta, umpamanya dapat berlaku secara nasional ataukah hanya berlaku didaerah DKI saja. Masing-masing daerah tingkat I dapat menentukan sendiri SIBP masing-masing. Penentuan SIBP terpusat tentunya dapat lebih efisien dan menjamin keseragaman mutu, namun sebaliknya dapat menutup kesempatan rekan-rekan yang berada diluar daerah DKI. Selama ini, kesempatan untuk mendesain bangunan tinggi praktis baru ada pada rekan-rekan yang mempunyai SIBP DKI. Mula-mula mungkin sebagai “counterpart” dari ahli asing yang berpengalaman, tetapi kemudian dapat mandiri dan berkembang menjadi ahli yang tanggung.

Pola ini dikaitkan dengan klasifikasi keahlian yang perlu, kiranya logis untuk diterapkan didaerah-daerah. Desain harus dilakukan oleh pemegang SIBP didaerah, dalam hal tingkat keahlian yang disyaratkan belum tercapai, ia harus bekerja sama dengan pemegang SIBP dengan tingkat keahlian yang dibutuhkan dari luar daerah. Dengan demikian, pemerataan kesempatan maupun mutu dapat dijamin.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka garis besar policy klasifikasi SIBP perlu diarahkan untuk mencapai ”

  1. Pemerataan kesempatan tetapi bukan membagi rata hasil usaha : – Pada tahap-tahap awal, persyaratan registrasi jangan terlalu keras sehingga banyak yang dapat ikut berprofesi mendapat SIBP. Tiap daerah tingkat I dapat melakukan registrasi sesuai keadaan daerahnya. Untuk menampung mereka yang kurang memenuhi kwalifikasi ideal, SIBP dapat dibagi dalam berbagai tingkat keahlian dengan batas wewenang berkarya sesuai kwalifikasi masing-masing. Perlu diingatkan pada tahap awal inipun perlu dipikirkan keseimbangan antara besarnya “kueh” dengan jumlah pemegang SIBP. Lebih baik membatasi jumlah sehingga masing-masing bisa mendapatkan porsi yang wajar dan berkembang darpada saking banyaknya jumlah peminat, menjadikan semuanya “mati kelaparan”. Dalam batas waktu tertentu, persyaratan dan pengedalian perilaku pemegang SIBP berangsur-angsur di perketat, sehingga mereka yang tidak berusaha dan tidak mampu secara alami mundur sendiri. Untuk ini, penulis ingin mensitir kata-kata CW Hall(2) sebagai berikut : “It is no sin to let average as well as brilliant youngster into college. It is a sin to let any sutantial poertion of them average or brilliant – drift through college without effort, without growth and without a goal.
  2. Menciptakan iklim yang menghargai dan mendukung “excellence achievement and innovation”: – SIBP tidak secara langung menciptakan iklim disebut dimuka, namun proses dan persyaratan SIBP dapat diarahkan untuk tujuan tersebut. Perkembangan teknologi demikian cepatnya sehingga dapat ;dikata tiap dekade sebagain teknologi sudah menjadi “obsolete”. Keharusan untuk setiap saat mengikuti dan menambah pengetahuan, baik dari yang senior maupun yang pemula perlu dijadikan sebagai syarat pembaharuan SIBP. Kekurangan dalam pengalaman dapat dikejar dengan “pengalaman ekivalen”, yaitu dengan cara mengikuti penataran / work shop yang membahas kasus-kasus peren-canaan sebenarnya secara mendalam dan mendetail. Kerelaan para senior untuk membimbing dan menghargai rekan muda yang menonjol perlu dijadikan syarat untuk menduduki predikat SIBP tertinggi.

    Mengenai detail pengaturan persyaratan SIBP, kiranya tidak dapat dijabarkan lebih lanjut disini. Alasannya, terutama karena hal tersebut perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Sebagai bahan kajian, kiranya dapat dipelajari peraturan-peraturan yang sudah ada di DKI Jakarta dan atau referensi di Negara lain.

    Garis besar pemikiran yang telah didiskusikan dapat diuraikan sebagai berikut :

    1. Pengaturan SIBP harus mengarah kepada tujuan utama yaitu ketertiban pembangunan untuk menjaga kepentingan dan keselamatan umum; mengamankan property dan kelanggengan professional.
    2. Diperlukan klasifikasi SIBP sesuai bidang keahliannya agar mutu spesialisasi keahlian lebih terjamin. Banyaknya bidang bukan saja berlandaskan peme-rataan kesempatan berkarya, tetapi juga harus secara ekonomis dapat dipertanggung jawabkan, sehingg tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    3. Klasifikasi SIBP berdasarkan tingkat keahlian / kemampuan dirasa perlu di Indonesia, terutama agar ada pemerataan kesempatan berkarya yang cukup. Namun penting juga agar diusahakan “mekanisme dan iklim yang menunjang”, agar para professional selalu berusaha menambah kemampuan dan prestasinya. Didasari bahwa dengan persyaratan menjaga mutu dan kemampuan profesi yang tinggi, ada sebagian rekan yang akan tercecer. Namun, disadari bahwa menjaga mutu dan kemampuan profesi adalah syarat utama untuk survive” dalam persaingan globalisasi.

Daftar refensi :

  1. Buzzell, DA (1982)

    “Trends in Engineer Registration – Sunset Review: How to Survive”

    Journal Issues in Eng. ASCE, vol.108

    No. E11

  2. Hall. C.W.

    “Excellece-recognition of excellence in academic achievement”

    The Bent of Tau Beta Pi, Winter, 1987.

  3. Association of Consulting Engineer Singapore: “The Professional Engineer Act. 1970 & Amendment ACES, yearbook 1986.
  4. Torseth, L.E. (1987) :

    “Civil Engineers and their Licensing Boards”

    J. Professional Issues in Eng. ASCE, Vol. 113 No. 2.

  5. Schulman, I. M. (1982) :

    “Regulation of Engineer in California”

    J. Issues in Eng. ASCE, Vol. 108 No. E1 1.

  6. Bell, L. G. : “Professionalism”

    “Regulation of Engineer in California”

    J. Issues in Eng. ASCE, Vol. 116 No. 2

    April 1990.


Print Friendly

3 responses to “SIBP dan Professionalisme Dibidang Perencanaan Bangunan Gedung Tinggi

  1. SIBP ternyata memang sangat penting, beberapa kali saya mendapatkan tawaran proyek dan syaratnya tetap SIBP. Walaupun sebagai konsultant perencana pemula yang belum memiliki SIBP, jangan berkecil hati. Anda bisa menjalin kerjasama dengan orang yang memilik SIBP. Otomatis, Anda cuma dapat uangnya, sedangkan nilai + didapatkan oleh pemilik SIBP karena menambah portofolio mereka. hehehe

  2. Syarat apa yang harus di siapkan untuk pengurusan SOBP?

  3. Maksudnya SIBP?

Leave a Reply

Your email address will not be published.