TEMAN TEMAN BAIK

Download PDF

PERIODE II

 

Oleh: SPL

 

Seperti yang telah dijelaskan dalan tulisan Teman Baik Periode I, periode I meliputi periode sampai proklamasi kemerdekaan yaitu sampai tahun 1945. Oleh karena itu, periode II meliputi periode akhir 1945 sampai penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1950. Bagi daerah kota kecil kami, kekuasaan Republic Indoneia setelah proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1950, praktis hanya sekitar 1 ½ tahun. Hal ini disebabkan Belanda telah menduuki kota kami setelah penyerbuan yang dikenal dengan politieke actie kedua oleh Belanda pada tahun 1947

Sebagai anak kecil, saya tentunya tidak terlalu sadar akan perubahan/peralihan kekuasaan yang berlangsung dan tidak jelas kapan dan bagaimana persis terjadinya serah terima dari Jepang ke Republik Indonesia dan kapan serbuan yang disebut politieke actie Belanda benar benar menguasai kota kecil kami ( kira kira sekitar sebelum akhir 1947 ) . Yang jelas, kelihatanya peralihan kekuasaan ini tidak terlalu menyebabkan keguncangan penghidupan penduduk kota kecil kami , meskipun pada periode peralihan ini, semua kegiatan sekolah ditutup.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu, dikota kami ditampung pengungsi dari kota kota kecil sekitar Bumiayu –Cilongok yang menjadi korban tindak pelanggaran HAM terhadap penduduk, keturunan Tionghoa oleh gerombolan yang tidak bertanggung jawab ; berupa pengungsian paksa dan malah ada juga pembunuhan oleh gerombolan orang lokal yang jahat. Katanya mereka mula mula dikumpulkan dan dipisahkan antara warga kaum perempuan /anak anak dan kaum lelaki. Banyak diantara orang lelaki yang dibunuh. Mereka digiiring pindah pindah dan baru tertolong setelah bertemu kelompok pejuang RI yang baik dan diantar kekota kota yang agak besar yang kondisinya lebih aman dan dikuasai Republik Indonesia.. Dikota kota tempat pengungsian, mereka yang mempunyai famili ditampung ditempat kerabatnya, namun yang tidak mempunyai famili, ditampung ditempat penampunagan khusus. Daerah sekitar kota kami tidak terjadi hal hal demikian, sehingga kami anak anak tidak merasa takut berkeliaran seperti biasa ke desa desa disekitarnya. Agak aneh juga, karena menjelang invasi Jepang, para warga keturunan Tionghoa umumnya mengungsi kegunung dan desa desa yang agak terpencil untuk menghindar pemboman Jepang, namun pada waktu Jepang menyerah , mereka malah mengungsi kekota yang lebih besar dan aman.

Rumah kami juga menampung beberapa orang famili yang menjadi takut tinggal dikota sangat kecil/desa, namun umumnya hanya kaum perempuannya; yang lelaki masih tetap dirumahnya didesa. Terpaksa gudang yang kondisinya baik dibersihkan dan digunakan menjadi kamar kamar tidur. Saya tidak ingat bagaimana proses dan pernyediaan makanan diatur, namun saya ingat kami agak repot menyediakan air untuk masak dan mandi. Dirumah kami tidak ada sumur dan instalasi air ledeng tidak jalan. Keperluan air diminta dan diambil dari sumur tetangga. Tugas menyediakan air ini jatuh dipundak saya, karena kakak lelaki saya sudah akil baik dan dianggap “tidak elok ” untuk blusukan mengambil air dari tetangga ( rumah Hongyu ). Saya praktis sehari 2 kali mengambil air dari sumur yang airnya sekitar 10 m dibawah muka tanah dan membawa air ke dapur atau ke kamar mandi yang sekitar 40 m jaraknya dari sumur. Kami mempunyai 2 kamar mandi, masing mempunyai 2 buah bak air yang sekitar 1 meter kubik volumenya, sehingga praktis tiap hari saya mengambil 4 m3 air untuk mengisi bak-bak air tersebut. Saya biasanya setengah berlari membawa 2 buah ember berisi air, dalam imaginasi saya seakan –akan ini adalah cara latihan yang banyak diceritakan dalam cerita silat. Hal ini tentu membantu saya tidak merasa susah/sedih harus membawa air tersebut. Yang membuat saya agak kesakitan adalah waktu menarik ember air dari sumur; karena tali yang dipakai adalah dari ijuk, sehingga ada bagian yang menusuk-tusuk telapak tangan jika saya mencengkeram tali tersebut. Saya masih ingat, melihat saya agak kesakitan, kadang kadang Hongyu ikut membantu menarik ember air dari sumur. Rupanya tidak terasa, proses pengambilan air ini sangat membantu kesehatan dan kekuatan badan saya. Meskipun badan tetap kecil dan kurus, tetapi menjadi lebih lincah dan kuat. Kelincahan saya juga saya latih dengan seing sering menangkap ayam yang berkeliaran dikebun.

Seperti telah disinggung dimuka, periode peralihan kekuasaan ini ditandai dengan terhentinya kegiatan sekolah. Tentu hal ini menjadikan anak anak lebih punya waktu luang dan bagusnya tidak saja permainan anak anak, namun kegiatan olah raga juga mulai lebih bertumbuh. Jika semula olah raga serius saya hanya main sepak bola , namun tentu kwalitasnya tidak serius karena bola yang digunakan seadanya. Selain sisa bal tenis yang sudah gundul bahkan tersisa warna hitam karetnya, bola sepak lain biasanya adalah bola lateks. Bola ini sangat ringan, sehingga jika ditendang berlawanan kearah angin yang keras, lama kelamaan bukan melaju malah berbalik arah. Oleh karena itu, sebelum digunakan, biasanya bola dibungkus dengan pelepah pisang kering yang di-ikat dengan anyaman tali. Tentu saja karena ditendang tendang, maka pelepah tidak tahan lama sudah rusak . Bola tenis karena kecil, hanya bisa dipakai main sepak bola dilapangan yang rata seperti lapangan tenis. Akan tetapi sering juga dipakai dilapangan rumput yang agak rata. Menendang bola tenis memerlukan presisi yang akurat, jika tidak , maka tanah atau batuan yang ditendang sehingga melukai kaki. Saya senang sekali berlatih menendang bola tenis kedinding yang berada agak jauh dari lantai, sehingga dapat main tenis sendirian dengan hanya menggunakan kaki. Tentu saja kalau melakukan smash, bola akan mental jauh kebelakang dan permainan perlu diakhiri untuk mencari kemana larinya bola tenis tersebut. Teman teman main sepak bola, selain yang umurnya sebaya, tetapi tergabung juga mereka yang umurnya lebih tua sedikit. Teman sebaya selain saya dan Hongyu, lainya yang dianggap pemain baik adalah Ahing. Meskipun badanya lebih pendek dari Hongyu, ia pandai sekali menggoreng bola. Lainnya adalah Kwatsik , kakak Ahing dan dua bersaudara kembar, Wawi dan Wawin. Dalam permainan bola yang dilakukan hampir tiap hari, kami berenam selalu absen dan merupakan pemain inti regu sepak bola kami. Terus terang saya lupa teman main bola lainnya siapa saja, tetapi tentunya semua anak anak tetangga. Selain main sepak bola, Hongyu dan saya juga main badminton. Pada waktu itu dirumah saya dibuat lapangan badminton. Sebelum orang dewasa mulai main, kami berdua selalu main miain dengan raket kayu dan bola badminton rusak yang diperbaiki. Oya, kala itu ada teman main badminton lain, yaitu kakak perempuan saya. Belakangan setelah boleh meminjam raket beneran, Hongyu agak tersingkir karena hampir selalu kalah dengan kami. Kakak perempuan saya orangnya tomboy dan gemar berolah raga, Jika main sepak bolanya dirumah, ia ikut main juga. Ada suatu saat dimana kami berdua saling mengalahkan dalam pertandingan badminton. Kakak saya orangnya sangat ngotot bermainya, setiap hari ia menantang bertanding badminton dengan saya. Jika saat ia menang terlihat senang dan puas, tetapi jika kalah kelihatanya sedih sekali. Entah mengapa suatu waktu saya sengaja mengalah, tetapi kakak saya malah jadi marah sekali dan mengatakan saya tidak sportif. Oleh karena itu, jika tidak mau kalah terus, maka saya harus main mati-matian. Selain kedua macam olah raga tadi, waktu itu Kasti juga menjadi semacam olah raga nasional untuk sekolah -sekolah. Saya sendiri cuma ikut-ikutan main, tetapi tidak terlalu berminat. Ada teman yang umurnya sedikit lebih besar yang namanya Pakseng. Badanya biasa biasa saja, tetapi dia memang benar benar jago. Lemparan bolanya bukan saja keras, tetapi arahnya selalu tepat ( titis – bahasa Jawanya). Rupanya ia punya bakat berburu burung dengan katepel , ia hampir selalu dapat burung, sehingga menjadi idola banyak teman teman laki laki. Bentuk katepelnya agak unik, bukan seperti huruf Y yang biasa, tetapi bulat sepertii pegangan gagang payung atau gagang pisau dengan celah bukaan V yang relatif kecil untuk mengikat 2 tali karetnya dibagian atas. Tali karetnya agak lebih kecil dari lebarnya lebih kecil dari karet katepel umumnya, tetapi ia pilih yang karetnya yang masih kuat dan agak tebal Banyak teman yang minta dibikinkan/beli katepelnya. Ia juga pintar membuat mata pancing, terutama mata pancing yang kecil, umumnya kami minta/beli dari dia. Dari dia saya juga belajar bagaimana cara memancing ikan ikan kecil dikali.

Main bola basket juga mulai dikenal dikota kami; waktu itu rupanya semua sekolah Tionghoa mempunyai regu basket. Disekolah saya, terlihat belajar main basket juga menjadi semacam pelajaran bagi mereka yang badanya mencapai tinggi tertentu. Kebetulan Hongyu dan saya tidak masuk kwalifikasi yang ditentukan, jadi mula mula kami berdua belum boleh ikut main basket, sehingga hanya dapat melihat-lihat murid murid lain belajar basket. Akan tetapi dasar anak anak , jika ada minat selalu memperhatikan dan belajar bagaiman orang lain main dan selalu mencuri curi main jika bolanya tidak dipakai. Maka gurupun menjadi heran waktu kami berdua sudah diperkenankan resmi belajar main basket, sepertinya kog ada bakat alam karena sudah pintar memainkan bola. Bicara tentang basket, saya jadi teringat 2 teman saya yaitu Sitjiang – sijangkung yang tinggi badanya 180 cm dan Cay-ing. Cay-ing adalah teman yang dulu pernah saya timpuk dengan ” batu “; rupanya peristiwa lalu sudah dilupakan. Sitjiang adalah teman baru yang baru pindah dari kota lain. Ia kebetulan pindah rumah dimuka rumah saya tempat Abdul dulu tinggal. Ia dan Cay-ing menjadi bintang dalam regu basket kami selama di akhir SD dan SMP Tionghoa. Sitjiang sangat pintar berceritera, apa saja yang diceritakan menjadi sangat menarik. Oleh karena ia tetangga dekat saya dan karena ukuran badanya sudah dianggap “ora ilok “ngendon di tetangga, maka saya dan Hongyu yang sering datang main kerumahnya. Tempat kami berkumpul dan berceritera adalah sebuah pohon Cheri yang cukup besar dinaiki 3 orng. Sesuai sifatnya, Hongyu tidak tahan jika tidak mengikuti permainan yang bersiat fisik; maka biasanya ia meninggalkan kami entah kemana dan hanya Sitjiang dan saya yang masih tahan “kongkow” berjam-jam.

Waktu Belanda datang, rumah disebelah timur saya dijadikan semacam kantin serdadu Belanda, dimana dibagian samping/muka ada fasilitas memutar film/bioskop. Film film yang diputar kebanyakan film cowboy atau film action lainya. Anak anak yang suka berkeliaran dekat kantin, termawuk Sitjiang, Hongyu dan saya, tempo2 dibiarkan ikut menonton. Dasar gerombolan anak anak, jika cerita filmnya menegangkan pada pada waktu si Jagoan memburu gerombolan orang jahat, tepuk tangan dan teriakanya sampai mengundang perhatian petugas tentara ( PM ) yang mau tidak mau lantas mengusir gerombolan anak anak keluar. Tentu saja kami anak merasa sangat sayang tidak dapat terus menonton film yang sedang tegang ceriteranya, sehingga beberapa yang “badung” masih mencoba mengintip dari pintu bahkan coba menyelinap masuk lagi. Rupanya tentara Belanda yang dtempatkan didaerah kata saya adalah dari negra bagian Friesland, yang kalau tidak salah berada diujung utara negeri Belanda. Bahasanya agak sedikit berbeda dari Bahasa Belanda yang dipakai disekolah Belanda dulu. Rupanya meski dekat denga n demarkasi antara daerah pendudukan Belanda dan daerah kekuasaan Republik Inonesia, mungkin daerah kami dianggap tidak strategis, sehingga pertempuran antara tentara Belanda dan gerilyawan Republik Indonesia jarang terjadi. Juga tidak terdengar pasukan Belanda sweeping ke desa desa mencari geriliyawan, meskipun Jendral besar Sudirman dan banyak petinggi tentara Nasional berasal dari daerah kami. Pada akhir penyerahan kedaulatan Negara kembali ke Indonesia, kehidupan kota berangsur –angsur pulih mendekati normal, akibatnya kegiatan oleh raga orang dewasa juga makin redup, karena mereka sehari hari lebih bekerja mencari nafkah . Akhirnya kegiatan olah raga basketpun praktis hanya dilakukan pelajar sekolah.

Sebelum keterusan bercerita sampai berakhirnya periode II ini ; sebaiknya saya sekilas balik menceriterakan peristiwa penting mengenai perpindahan sekolah kami. Hal ini terjadi pada akhir pendudukan Jepang. Setelah Jepang menyerah, sekolah Jepang/Tiongha di kota kami menjadi Sekolah Tionghoa . Sekolah kami yang menduduki gedung bekas sekolah HZCS yang berada di sebelah Timur alun alun harus pindah karena gedung sekolah akan digunakan untuk keperluan lain. Pada waktu itu tidak ada mobil truck untuk mengangkut barang dan pekerja buruh kasar juga tidak ada. Oleh karena itu, perpindahan bangku sekolah dan alat alat lain harus dilakukan secara mandiri. Alat pengangkut satu-satunya adalah gerobak tarik/dorong, penarik utamanya berdiri diantara 2 tiang yang dipasang horizontal yang dihubungkan dengan kotak gerobak serta dipasang tali dibagian depan antara kedua tiang untuk disampirkan kepada pundak penarik. Orang orang lain dapat membantu mendorong gerobaknya dari belakang; sehingga jelas beban utama terletak pada pundak penarik gerobak. Dipelopori oleh kepala sekolak pak Ongtjingho yang perawakannya tinggi besar sebagai penarik utama, gerobak gerobak lain yang ditarik oleh sukarelawan yang berbadan tegap dan anak anak sekolah yang besar besar badanya sebagai pendorong ; barisan gerobak itu membawa bangku bangku ke sekolah baru yang letaknya didaerah ´Mbengang ” di ujung barat kota. Jarak antara sekolah lama dan sekolah baru kira kira sekitar 1500 – 2000 m. Bangunan sekolah baru besifat darurat, karena dindingnya dibuat dari anyaman bambu yang didobel; namun tentunya masih tidak kedap suara. Seingat saya bangunan kelas juga tidak dipasang plafond dan dinding pemisah antara 2 kelas hanya setinggi sekitar 3,50 m. Saya masih ingat anak2 yang nakal suka melempar keset butut yang dibuat dari sabut kelapa ke kelas sebelah. Untungnya hal ini dilakukan pada waktu kelas tidak dihuni, jika tidak, tawuran antar kelas pasti akan terjadi. Letak sekolah persis di sebelah sawah, sehingga beberapa murid suka berjalan jalan dipematang sawah pada waktu jam istirahat. Dasar anak anak, makin lama mereka berjalan makin jauh, sehingga setelah jam istirahat habis, mereka masih belum masuk kesekolah. Akibatnya ya tahu sendiri.

Peristiwa perpindahan sekolah dan sikap pak Ong yang berasal dari daerah lain ( Magelang ) tetapi mau mati-matian berjuang untuk sekolah mendapat apresiasi dari penduduk kota kami. Rupanya pak Ong memang orang yang suka konsekuen mengabdi pada tugasnya dan ia orang yang multi talenta. Selain sebagai guru kepala sekolah yang gemar berolah raga, ia juga meluangkan waktu memberi les berbagai ketrampilan pada pemuda pemudi Tionghoa yang karena umurnya sudah tidak bersekolah formal lagi. Ia memberikan les Bahasa Inggris dan tata buku pada sore hari dan setelah Belanda datang, ia juga member i les bahasa Belanda agar anak anak bisa meneruskan sekolah dikota lain. Sebagai olah ragawan, selain pemain basket, Ia juga mengumpulkan murid murid untuk dilatih main tinju. Sarung tanganya ia buat sendiri dari berlapis- lapis kain yang diisi kapuk padat. Semua murid lelaki boleh ikut, syaratnya adalah surat persetujuan dari orang tua murid. Sparring partner dalam latihan tentu dipilih yang kira kira badanya seimbang. Oleh karena rumah dan tempat latihan hanya terpisah beberapa rumah dari rumah saya, maka saya dan Hongyu suka ikut melihat-lihat. Setelah banyak anak sebaya yang ikut, saya dan Hongyu juga ikut mendaftar. Waktu itu juga sudah ada beberapa asisten yang ikut melatih, saya dan Honyu dilatih oleh Tiongtji. Pak Ong hanya sering ikut melihat saja. Tentu kami dilatih agar lebih tabah dan berani kena pukul dan harus tetap sportif tidak boleh terlalu emosionil. Oleh karena badan kami bedua relatif kecil, maka kami mengandalkan kelincahan dan kecepatan kami , sehingga jarang kena pukul. Jika ada yang terlalu emosionil, maka disuruh berhenti berlatih. Berbicara tentang olahraga, waktu itu regu basket kota kami sangat disegani oleh regu kota kota lain disekitar daerah Banyumas. Regu basket kota kami intinya terdiri dari pak Ong, Hengki dan Koktiu bersaudara, Yehcing yang juga guru sekolah kami dan Kimhong orang local. Tinggi badan mereka rata rata diatas 175 cm dan badanya sangat kekar.

Setelah membahas kondisi fisik sekolah baru, baiklah kita menengok kembali sejenak bagaimana perkembangan kondisi murid murid sekolah. Kebiasaan saling adu jotos pada sekolah HCZS rupanya mulai ditinggalkan pada pendudukan Jepang dan setelah Jepang menyerah, praktis kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi. Pada waktu sekolah HCZS dulu, entah mengapa anak murid laki laki suka adu jotos/berkelahi. Caranya ada aturan tertentu dan selalu perkelahian/adu jotos tersebut dilakukan satu lawan satu. Perkelahian itu biasanya dilakukan di-alun alun yang memang tidak jauh dari sekolah. Kelihatanya masing masing jagoan punya pengikut dan pendukung, tetapi perkelahian tidak pernah menjadi tawuran antar kelompok. Penyebab perkelahiahian mungkin juga hal yang sepele, biasanya yang satu mengatakan tidak takut berkelahi dengan si-anu, maka diaturlah perkelahian antara kedua jago berkelahi tersebut. Meskipu berupa free fight, artinya boleh meninju, boleh menendang dan boleh membanting, namun sebelum berkelahi , sepatu harus dibuka dan disimpan dulu. Benda keras yang dipakai di jari jari atau ditangan juga harus dilepas. Meskipun boleh menendang, menendang daerah kemaluan tidak dibenarkan. Perkelahian biasanya berlangsung tidak terlalu lama, jika kelihatan jagonya sudah kewalahan, pendukungnya cepat cepat memisahkan perkelahian dan perkelahianpun bubar. Perkelahian hampir terjadi setiap hari, meskipun orangnya berbeda beda. Tempo tempo juga dilakukan ” repeat fight ” yang bermula dari saling menantang. Seingat saya, praktis tidak pernah terjadi cedera yang berat. Pada jaman Jepang perkelahian di-alun alun berhenti sama sekali, masih terjadi secara mencuri-curi dihalaman sekolah; sebab tentara Jepang akan menghukum pihak yang dianggap salah dengan sangat sadis. Lama kelamaan kebiasaan ini hilang dengn sendirinya. Yang saya heran, umumnya setelah dewasa, para jagoan berkelahi ini sikapnya menjadi toleran dan baik sekali; sama sekali tidak tersisa tanda kenakalan atau kecongkakan setelah mereka menjadi dewasa.

Setelah Jepang tekuk lutut pada sekutu, disintegrasi antara golongan murid Tionghoa babah dan Tionghoa totok lebih jelas lagi, Hal ini disebabkan kebanyakan murid golongan babah berusaha kembali kesekolah Belanda. tetapi tidak pernah terjadi perkelahian masal ataupun penindasan antar kelompok. Apalagi setelah pendudukan politieke actie kedua , para murid golongan babah umumnya sudah mulai berorientasi ingin masuk kesekolah Belanda lagi, sehingga mereka hijrah kekota kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Memang sekolah Tionghoa dikota kami sudah tidak dapat menampung murid murid pada kelas tinggi, karena belum ada kelas SMP. Satu per satu murid murid tersebut dikirim sekolah keluar kota. Mungkin karena proses mengirim anak sekolah keluar kota cukup mahal untuk ukuran zaman itu, mereka yang keluarganya kurang mampu umumnya berhenti sekolah. Keluarga kami sampai tahun 1948 sudah mengirimkan 3 kakak saya keluar kota. Saya sendiri termasuk yang tertinggal dalam kota, mungkin karena terlalu berat untuk mengirimkan dan membiayai lebih dari 3 anak sekolah diluar kota sekaligus; maka orang tua saya tidak langsung mengirim saya sekolah diluar kota.

Dengan perginya teman sekolah sebaya saya dan yang lebih tua keluar kota, maka pada waktu itu saya terpaksa tidak naik kelas, karena kelas saya tidak bisa dibuka karena tidak ada muridnya. Hal ini terjadi pada waktu saya dari kelas SMP II seharusnya naik kekelas SMP III pada pertengahan tahun 1948. Sebenarnya perpindahan murid murid untuk sekolah diluar kota sudah terjadi mulai sekita 2 tahun sebelumnya. Waktu itu disekolah Tionghoa di-organisir himpunan siswa, yang dianjurkan belajar berorganisasi, mengadakan Koran dinding dan mengorganisir pertandingan olah raga dan lain lain. Entah ditunjuk atau dipilih, maka tugas mengurus himpunan siswa jatuh kepundak saya. Selain saya sebagai ketua, ada wakil yang namanya Ambing dan Yanswan, mereka berdua lebih besar dari saya, tetapi tetap mau jadi pengurus bersama saya. Tentu teman baik saya Hongyu juga masuk dalam jajaran pengurus dan sekretarisnya bernama Sengho , orangnya pendiam tetapi rajin sekali. Pada waktu ada 2 guru pria yang sangat dekat dengan murid murid, namanya Cenminchang dan Yaphongging. Mereka berdua masih bujangan dan memang umurnya juga baru sedikit lebih dari 20 tahun kala itu. Meskipun badanya tidak terlampau besar/kekar; tetapi mereka pandai olah raga apa saja seperti basket dan badminton, tetapi dapat mengajar dengan baik dan menyanyi , main sandiwara dan sebagainya. Sebagai pengurus himpunan siswa, kami hampir saban hari galang gulung dengan mereka berdua ditempat indekosnya. Main basket biasanya juga dengan mereka, tetapi tidak ada kegiatan les.

Oleh karena ada keinginan untuk sekolah diluar kota, saya juga mencoba belajar sendiri agar tidak ketinggalan pelajaranya dikemudian hari jika menyusul teman sekelas yang pergi keluar kota terlebih dahulu. Saya harus mengaku bahwa belajar sendiri ternyata tidak mudah jika tidak berdisiplin keras. Banyak sekali target yang tidak dapat saya penuhi. Antara teman sebaya yang pergi keluar kota, ada seorang sepupu, nanamya Ciyong ( lelaki ) juga merupakan teman baik. Sebelumnya kami berdua disuruh belajar bahasa Inggris pada bapaknya yang pernah sekolah di Singapore dan pernah jadi guru. Oleh karena jadwal belajarnya sore hari sekitar jam 2 siang, sering juga bapaknya berhalangan. Terus terang kami juga cepat bosan, karena yang diajarkan difokuskan pada gramatika. Maka jika ada kesempatan dan alasan, kami berdua lebih senang pergi mancing ikan disungai sungai kecil dekat rumah Ciyong yang berbatasan dengan sawah dan desa. Waktu itu masih banyak ikan kecil disungai, sehingga kami selalu mendapat beberapa ekor ikan. Rencananya sih ikan ikan maunya dipeilhara, akan tetapi jarang yang bisa bertahan hidup agak lama. Akan tetapi, untuk semua pemancing, paling nikmat adalah ketika pancingnya dapat menangkap ikan. Ciyong orangnya pendiam dan tidak terlalu suka bergaul, tetapi ia cukup pandai olah raga pingpong dan kemidian hari main tenisnya juga bagus. Nilai sekolahnya juga termasuk baik, ia lulus SMA pada tahun yang sama dengan saya ( 1952 – saya sekolah Tionghoa dan dia AMS ) dan kemudian menjadi dokter.

Menjadi ketua himpunan siswa menambah wawasan hidup saya, karena harus ikut memikirkan hal hal yang tidak langsung berkaitan dengan diri sendiri. Ikut memikirkan nasib sekolah yang kiranya tidak bisa terus hidup, memikirkan mereka yang tidak mampu meneruskan sekolah keluar kota dan tetek bengek kenakalan anak anak, karena baik guru guru maupun pengurus sekolah suka mengikut serta pimpinan himpunan siswa dalam hal hal demikian. Saya tidak ingat berapa lama saya menjabat ketua himpunan siswa yang seharusnya diganti setiap tahun sekali, namun sepertinya jika tidak saya keburu sekolah diluar kota, tugas tersebut tetap diserahkan pada saya. Soalnya kelompok pngurus siswa lainya kelihatanya sangat mendukung saya. Ada Ambing yang menjadi wakil ketua, yang umurnya dan kepandaian Bahasa Tionghoanya jauh diatas saya. Ada Sengho yang pendiam , tetapi sangat rajin dan rapi kerjanya sebagai penulis, ada Yanswan, yang badanya kekar dan besar, tetapi rupanya senang diperintah-perintah dan tentunya ada Hongyu. Kebanyakan murid murid perempuan memanggil saya dengan panggilan TSUSHI – artinya ketua, mungkin karena sukar memanggil nama teman laki yang lebih tua.

Mugkin ada satu hal lagi yang perlu disinggung, yaitu kenapa saya belakangan kog bisa berteman baik dengan Cay-ing. Peristiwa saya dengan Cay-ing pada dasarnya karena ia kebablasan menggoda tidak melihat situasi dan kondisi; sehingga yang digoda jadi mata gelap. Ia belakangan menyadari dan meminta maaf dan saya juga berjanji dalam diri saya agar lebih dapat mengendalikan emosi, karena tindakan emosional dapat berakibat fatal. Saya mungkin sifatnya agak pendendam; seperti akan saya ceritakan tentang teman lain yang bernama Si Ia sekitar 2 tahun lebih tua dari saya dan badanya tentu lebih besar. Entah bagaimana kami duduk satu bangku. Saya setiap hari merasa seperti digoda dan diteror olehnya. Sifatnya sangat licik, karena ia menggangu saya jika tidak dilihat orang lain; dan rupanya ia benar benar menikmati ketidak mampuan saya membela diri ( ini terjadi sebelum peristiwa Cay-ing ). Entah mengapa ia sempat pindah keluar kota dan lucunya 2 tahun setelah ia kembali, badan kami sudah hampir sama besar. Karena saya yakin ia memang menjahati saya dan perlakuanya bukan sekedar kenakalan anak anak, maka pada kesempatan ia ketemu lagi, beberap kali saya tantang ia berkelahi. Lucunya meskipun badanya masih lebih besar dari saya, ternyata ia tidak berani berkelahi dan mencoba selalu menghindar dari saya. Tiap ada kesempatan, selalu ia saya dekati. Saya tidak pernah memukul dia, tetapi rupanya secara psikis ia tertekan sekali karena selalu dicari dan didekati saya dengan tingkah tidak bersahabat. Saya tidak tahu kapan saya berhenti berbuat demikian, tetapi rupanya ia pindah kelur kota dan tidak pernah bertemu saya lagi. Nah dengan ceritera ini, saya akhiri kisah teman teman periode II.

 

 

Print Friendly

One response to “TEMAN TEMAN BAIK

  1. Semoga teman tersebut bisa memaafkan Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published.